Langsung ke konten utama

MEMAKNAI SUMPAH PEMUDA DI ERA DIGITAL

 



Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. 
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tiga kalimat sederhana itu, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, telah menjadi pondasi lahirnya bangsa besar bernama Indonesia. Di bawah tekanan penjajahan, para pemuda masa itu berani memimpikan persatuan, di saat bahkan menyebut nama “Indonesia” saja masih dianggap berbahaya.

Kini, hampir seabad kemudian, tantangan bangsa ini bukan lagi tentang mengusir penjajah berseragam. Penjajahan itu telah berganti wujud, hadir lewat arus deras teknologi, budaya global, dan informasi yang berloncatan tanpa batas. Di sinilah makna Sumpah Pemuda diuji kembali: masihkah generasi muda kita berani menyatukan diri dalam semangat cinta tanah air di tengah pusaran dunia digital?

Era digital telah mengubah wajah kehidupan manusia. Dunia kini seolah tanpa jarak; setiap ide bisa viral dalam hitungan detik, setiap individu dapat berpengaruh tanpa perlu jabatan. Pemuda menjadi pemain utama dalam perubahan ini.

Di Indonesia, lebih dari 60 persen pengguna internet adalah generasi muda. Mereka lahir di tengah layar sentuh, tumbuh bersama media sosial, dan berpikir dalam bahasa algoritma. Namun di balik peluang besar itu, terselip tantangan yang tidak ringan: banjir informasi palsu, polarisasi opini, hingga krisis identitas budaya.

Bila dahulu musuh pemuda adalah penjajahan fisik, kini musuhnya adalah penjajahan pikiran. Konten asing yang mengaburkan nilai, budaya instan yang meniadakan makna, dan gaya hidup konsumtif yang menjerat keinginan tanpa batas. Jika pemuda tidak berdaya memilah dan mengolah, mereka bisa kehilangan akar kebangsaan, menjadi bangsa besar yang lupa jati diri.


Lantas bagaimana Sumpah Pemuda diterjemahkan di era digital ini?

Mungkin tidak lagi dalam bentuk rapat di gedung tua atau tulisan di koran perjuangan. Tapi semangatnya tetap sama: persatuan, kebanggaan, dan tanggung jawab sebagai anak bangsa.

Pemuda masa kini menunjukkan nasionalisme bukan hanya lewat upacara bendera, tapi juga lewat karya dan jejak digital. Seorang kreator konten yang menyebarkan wawasan kebangsaan, seorang pengembang aplikasi lokal yang memudahkan hidup masyarakat, seorang wirausaha muda yang menciptakan lapangan kerja, merekalah penerus semangat Sumpah Pemuda dalam versi abad ke-21.

Menjadi “putra-putri Indonesia” hari ini berarti berani menggunakan teknologi untuk kebaikan, bukan sekadar hiburan. Menjadi “berbangsa yang satu” berarti tetap menghargai keberagaman dalam ruang digital yang kadang memecah belah. Menjunjung “bahasa persatuan” berarti bijak dalam berkomunikasi di dunia maya, menjaga etika, dan menebar semangat positif di tengah riuhnya komentar dan caci maki daring.

Kesadaran akan pentingnya peran pemuda di era digital juga terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah. Program seperti Gerakan 1000 Startup Digital, Kartu Prakerja, Digital Talent Scholarship, hingga Beasiswa LPDP adalah bentuk nyata keberpihakan negara dalam membuka ruang bagi kreativitas anak muda.

Kementerian Pemuda dan Olahraga pun gencar mendorong kolaborasi lintas bidang: wirausaha, inovasi teknologi, kepemimpinan sosial, hingga diplomasi budaya. Tujuannya jelas: agar pemuda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta perubahan. Namun, dukungan pemerintah saja tidak cukup. Tantangan terbesar tetap ada di tangan para pemuda itu sendiri: apakah mereka mau menggunakan kebebasan digital untuk membangun, bukan merusak? Apakah mereka memilih menjadi penonton arus globalisasi, atau justru sutradara yang mengarahkan masa depan bangsa?


Ketika Pemuda Kehilangan Nasionalisme

Bayangkan sebuah bangsa di mana para pemudanya lebih bangga menjadi “warga dunia” ketimbang “warga Indonesia”. Bangsa di mana sejarahnya dilupakan, bahasanya dicampur aduk, dan budayanya dianggap kuno. Apa jadinya Indonesia bila generasi mudanya kehilangan rasa cinta tanah air?

Kita bisa melihat gejalanya hari ini: menurunnya minat baca sejarah nasional, menipisnya empati sosial, hingga mudahnya generasi muda terprovokasi oleh isu-isu yang memecah belah. Jika dibiarkan, krisis identitas ini bisa mengikis daya tahan bangsa dari dalam, jauh lebih berbahaya daripada ancaman luar. Padahal, bangsa yang besar selalu berdiri di atas semangat generasi mudanya. Era digital seharusnya bukan menjadi ancaman, tetapi peluang. Di sinilah letak tantangan terbesar pemuda Indonesia: bagaimana menjadikan teknologi sebagai alat perjuangan baru.

Pemuda bisa berkontribusi lewat inovasi sosial, gerakan literasi digital, atau kewirausahaan berbasis teknologi lokal. Banyak contoh inspiratif: aplikasi yang membantu petani menjual hasil panen tanpa tengkulak, kampanye digital melawan hoaks, hingga platform edukasi yang menjangkau pelosok negeri. Semua itu menunjukkan bahwa nasionalisme tidak harus diukur dari atribut, tapi dari manfaat yang diberikan.

Seorang influencer yang menanamkan nilai kebaikan di setiap unggahan, seorang programmer yang membuat sistem keamanan siber untuk melindungi data bangsa, atau mahasiswa yang menulis opini membangun di media digital, semuanya adalah bentuk perjuangan modern yang berakar dari semangat Sumpah Pemuda.



Mari Kita Nyalakan Api di Tengah Cahaya Layar

Pemuda Indonesia hari ini hidup dalam terang layar, tetapi jangan biarkan cahaya itu membutakan. Gunakan ia untuk menyalakan api perjuangan baru: api kreativitas, kepedulian, dan cinta tanah air.

Sumpah Pemuda tidak lagi sekadar teks sejarah yang dibacakan setiap Oktober. Ia adalah semangat yang harus terus dihidupkan di setiap status media sosial, di setiap karya digital, dan di setiap keputusan yang diambil generasi muda untuk bangsanya.

Karena di tangan pemuda-lah masa depan Indonesia ditentukan. Dan di dunia digital inilah, Sumpah Pemuda menemukan bentuk barunya, sebagai janji setia untuk terus mencintai Indonesia, dari masa ke masa.


Khilmi Arif, Owner STMJ Cangkir B12

Komentar