Giat warga seperti ini sudah lumrah dilakukan oleh masyarakat Indonesia, tidak hanya orang-orang 'kampung', tapi orang-orang 'perkotaan' pun juga ikut meramaikan, walau kadang dengan bentuk, cara dan konsep yang berbeda. Apa pun itu, giat semacam ini dilakukan dengan tujuan menyemarakkan Digahayu Kemerdekaan Indonesia.
Malam Tirakatan, kebanyakan warga menyebutnya, adalah malam dimana warga setempat melakukan 'ritual' dalam menyambut hari Kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan kumpul-kumpul, guyup rukun, silaturahim antar warga. Makan bersama, bercengkrama, urun rembuk, bicang-bincang seputar giat dan agenda semarak Kemerdekaan, sambung roso, bahkan curhat tentang persoalan warga. Dan yang tidak kalah 'sakral' dari itu semua adalah mengenang para pejuang Kemerdekaan Indonesia. Ikut bersama-sama mendo'akan, meneladani, dan yang terpenting lagi melanjutkan nilai-nilai perjuangan mereka di hari esok.
Muhammadiyah melihat giat semarak Kemerdekaan Indonesia semacam ini bukanlah sebuah bid'ah. Mengingat giat ini termasuk kategori 'Mu'amalah Dunyawiyah', bukan termasuk 'Ibadah Mahdloh' atau ritual khusus dalam Ibadah. Mu'amalah Dunyawiyah dalam kaidah Hukum Islam adalah sesuatu yang diperbolehkan, hukumnya mubah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang asasi. Hal ini berbeda dengan urusan Ibadah Mahdloh (baca: ibadah khusus) yang mengharuskan sebuah perintah (baca: dalil) Syar'iyyah untuk melaksanakan. Artinya, giat semarak Kemerdekaan Indonesia, termasuk 'malam tirakatan' yang rutin dilakukan warga adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh Syariat, bahkan perlu dilestarikan untuk kemaslahatan bersama.
Giat-giat seperti ini, sejatinya adalah bentuk kesyukuran atas nikmat Kemerdekaan Indonesia yang diberikan oleh Allah Swt. Mengisi semarak Kemerdekaan Indonesia dengan giat-giat yang positif, merupakan wujud syukur sebagai anak bangsa, untuk melanjutkan nilai-nilai perjuangan para pendahulunya. Terlebih lagi Muhammadiyah sudah memberikan contoh yang nyata dalam membangun bangsa Indonesia, bahkan sebelum merdeka. Bukankah begitu?
Oleh: Lutfi Letvana
Komentar
Posting Komentar